Kamis, 25 September 2014

THE MISTERIOUS GIRL

PART #2



Setiap tahun di sekolah kami ada lomba mading antarkelas. Setiap kelas memiliki tema-tema yang telah ditentukan dan periode untuk memasang madingnya. Dan tahun itu temanya adalah tentang Negara-negara di dunia. Kebetulan kelasku mendapat tema Perancis dan mendapat periode kedua.
Kelas Fisa mendapat periode pertama. Jadi kelasnya membuat, menyelesaikan, dan memasang mading lebih awal dari kelasku. Dua hari sebelum kelasnya memasang mading, teman-teman sekelasnya menyelesaikan mading hingga sore hari. Fisa menghubungi Robin untuk datang dan membantu teman-temannya. Tentu saja Robin mau melakukannya. Dan sehabis pulang dari sana, Robin berangkat les dan bertemu aku. Kelas tujuh aku memang satu LBB dengannya. Robin menceritakan padaku tentang ia tadi datang ke sekolah dan membantu teman-teman Fisa. Lalu teman-teman Fisa menjodoh-jodohkannya dengan Fisa dan sebagainya. Aku hanya heran. Kenapa ia mau dimanfaatkan oleh cewek seperti itu? Tetapi aku tak mau berkata apa pun. Aku hanya diam dan menyimpan pertanyaan itu di dalam hati.
Hari minggu digunakan kelas kami untuk mengerjakan mading di sekolah. Hampir semuanya terlihat sangat sibuk hingga kami pulang lebih dari tengah hari. Sebagian teman sudah pulang, tetapi beberapa masih tinggal di kelas, salah satunya aku, Robin dan temanku yang bernama Barbara. Karena Barbara mengendarai motor dan di luar sedang hujan ia pamit untuk pulang terlebih dahulu.
Kini hanya tinggal aku dan Robin. Aku merasa biasa saja dengannya, dia juga sudah biasa denganku. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia duduk di karpet depan (beberapa kelas dari sekolah kami berkarpet) sambil sibuk internetan dengan wifi sekolah melalui laptopnya. Aku duduk di bangku paling depan untuk internetan juga melalui ponsel. Aku membuka akun facebook-ku, lalu menulis status “Ketemu minisize lagi. Di kantin, koperasi, di perpus, di depan sekolah. Bosan ah.” Aku tak tahu apa yang ada di pikiranku saat itu. Tetapi saat melihat Robin, aku selalu teringat pada Fisa.
Beberapa kali Robin telah bekerja banyak untuk kelas Fisa, sementara untuk kelasnya sendiri ia juga bisa dibilang banyak bekerja. Tetapi yang tidak kusuka dari Robin adalah dia mengerjakan mading kelas kami sambil sms-an dengan Fisa. Dasar anak tak tahu waktu! Aku tahu dia tak ingin bila Fisa marah padanya kalau-kalau Robin tak membalas sms-nya. Mungkin karena hal itu pernah terjadi, ia tak mau mengulanginya lagi.
Malah, jam empat pagi saja mereka sudah sms-an sejak di Kampung Inggris, Pare. Hal itu membuat temanku yang sekamar dengan Fisa terganggu. Dia mengakui bahwa jam empat pagi semua anak di kamar itu masih tidur, dan kebetulan kasurnya bersebelahan dengan kasur Fisa. Fisa meletakkan handphone-nya di kasur. Nah, pagi-pagi sekali. Itulah saat handphone Fisa bergetar sangat keras sampai mengganggu temanku itu. Sangat-sangat tidak penting.
Aku tahu hal segala hal tentang Fisa karena diberi tahu teman-temanku. Sudah kuberi tahu sebelumnya bahwa sebagian besar anak cewek di kelasku juga tak menyukai Fisa. Maka hampir setiap kali kami berkumpul, kami selalu membicarakan Fisa. Bisa dibilang menggosip sih, tetapi… ah sudahlah!
Pertengahan bulan Maret pun tiba. Itulah hari ulang tahun Fisa. Robin pun mengucapkan selamat ulang tahun kepada Fisa, melalui SMS tentunya dan status facebook. Tetapi hanya beberapa orang yang mengerti makna dari status facebook itu, termasuk aku. Ia menulis status itu dua atau tiga hari setelah ulang tahun Fisa dan di status itu ia tidak menandai Fisa. Aku lupa tepatnya, tetapi aku ingat statusnya bertuliskan “Congrats ya dik”. Aku memang tahu bahwa status itu ditujukan untuk Fisa. Aku juga baru menyadari bahwa mereka adalah “kakak-adik” dalam sapaan di SMS. Sungguh aneh kelakuan para remaja jaman sekarang.
Beberapa hari setelah hari ulang tahun Fisa, kelas tujuh dan delapan di sekolahku libur karena kakak-kakak kelas Sembilan di sekolahku sedang melaksanakan ujian sekolah tulis, termasuk kakak Fisa. Yah, bukan “libur” namanya jika guru-guru yang mengatakannya. Tetapi mereka menatakan “belajar di rumah” untuk lebih menghaluskan dan menyuruh siswa-siswinya untuk tetap belajar di waktu luang. Tetapi hasilnya, hanya sedikit yang belajar pada waktu senggang seperti itu.  
Oh ya, aku belum menyinggung tentang kakak Fisa. Kakaknya cantik (menurutku lebih cantik dari adiknya), putih (memang waktu itu kakaknya terlihat jauh lebih putih dari Fisa), dan juga seorang atlet. Mereka memiliki banyak kesamaan tentunya. Lagi-lagi teman-temanku membicarakan Fisa. Tetapi kali ini kakaknya juga disangkut-pautkan. Kata mereka, kak-adik itu sama, sama-sama kemayu kalau istilahnya orang Jawa. Sehingga kak-adik itu sering dibilang endhel. Hei, yang bilang begitu bukan hanya teman-temanku, tetapi juga teman-teman kakak Fisa.
Karena itu lagi-lagi aku menulis status di facebook, “Kakak adik sama saja, sama-sama cantik, tapi sama-sama kemayu.” Aku ingat betul aku menulis status itu saat malam Paskah. Meski begitu, aku tak tahu apakah mereka atau Fisa membaca statusku itu. Aku berharap ia tidak tahu dan tidak membacanya. Atau dia membacanya tetapi tak tahu bahwa ia dan kakaknya yang kumaksud di situ.
Kembali ke liburan tadi. Teman-teman sekelasku mengadakan acara hiburan sejenis bermain atau bahasa Jawanya dolan. Teman-temanku memilih untuk berkeliling dengan becak cinta. Itu lho, kendaraan yang dikayuh oleh empat orang dengan lampu warna-warni pada badan kendaraannya. Awalnya naik becak cinta dilakukan siang hari yang dihadiri hanya 7 anak, termasuk aku dan Robin. Menurut penglihatanku saat itu, temanku yang bernama Josi selalu seperti mencari-cari perhatian Robin. Sungguh, aku tak suka melihatnya. Aku jijik dengan cewek yang termasuk criteria 2C dan 2G (Centil, Caper, Genit, Gatel) seperti itu. Kurasa Josi telah menyukai Robin. Meski begitu Josi adalah orang yang cantik, punya banyak bakat dalam bidang seni, lebih pintar dari Fisa, dan lebih tinggi dari Fisa (tetapi aku yang lebih tinggi). Tetapi Robin tidak merespon semua perkataan Josi. Ia hanya terlihat biasa saja.
Tiga hari kemudian, teman-teman mengadakan lagi acara naik becak cinta. Hanya kali ini, acaranya diselenggarakan malam hari. Aku tidak ikut karena pastinya aku tidak diizinkan ibuku, padahal aku sungguh ingin. Josi pun begitu. Tetapi Robin dan 7 anak lainnya sangat antusias untuk mengikutinya.
Esoknya aku pergi ke rumah temanku yang bernama Ema untuk mengerjakan tugas biologi bersama. Di sela-sela mengerjakan bersama, dia bercerita tentang Robin dan Fisa. Kuakui aku antusias mendengar dia bercerita tentang mereka berdua. Katanya informasi ini ia dapatkan dari Barbara yang juga dekat dengan Robin. Lagipula Barbara juga dekat dengan Ema dan Ema juga dekat denganku. Jadi aku bisa dengan cepat mengetahui segala sesuatu tentang Robin.
Ema bercerita bahwa saat akan naik becak cinta di malam hari, Robin menyempatkan untuk curhat pada Barbara. Robin mengatakan bahwa Fisa meminta pulsa sebesar lima ribu rupiah saja pada Robin. Tetapi Robin menolak sehingga Fisa menjadi kesal padanya dan menulis status facebook, “Tambah suwi tambah megelne puoll cah kuwi.”
Aku sungguh tidak menyangka dengan kelakuan Fisa yang seperti itu. Sebetulnya aku juga tak tahu alasan Fisa meminta pulsa dan alasan Robin menolak. Aku mengasumsikan bahwa Fisa seperti meminta hadiah ulang tahunnya. Malah Ema mengasumsikan bahwa Fisa itu cewek matre. Memang terdengar kasar, tetapi mungkin itu bisa jadi salah satu buktinya.
Kejadian itulah yang menyebabkan hubungan antara Fisa dan Robin memiliki banyak kerenggangan. Bahkan bisa dikatakan berakhir. Rumor tentang hubungan Robin dan Fisa mereda meskipun teman-teman perempuan sekelasku masih tidak menyukai Fisa. Dan rupanya Fisa masih memusuhi temanku yang bernama Anera sejak Fisa dekat dengan Robin. Aku menjadi merasa kasihan pada Anera. Ia mengaku padaku bahwa ia bukan tidak menyukai Fisa dan tidak ingin memusuhi atau dimusuhi siapapun, termasuk Fisa.
Fisa memang orang yang aneh. Hanya karena silsilah keluarga kelasku yang sepele ia memusuhi Anera. Memang, kelas kami mempunyai silsilah keluarga yang terdiri dari generasi pertama sampai generasi terakhir. Anera dipasangkan teman-teman dengan Robin yang menjadi generasi kedua. Hal itu membuat anak-anak kelas kami memanggil Anera dengan sebutan “Mama” dan Robin dengan sebutan “Papa”. Terdengar lucu memang, tetapi si aneh Fisa itu justru salah menafsirkannya.
Waktu pun terus berjalan. Hingga Robin dikabarkan berpacaran dengan ketua kelasku yang merupakan temanku dari TK. Sejujurnya, aku sangat terkejut meskipun aku tidak tahu pasti kebenarannya. Rumor mengatakan bahwa Robin “menembak”-nya di depan SMA 1. Kebetulan saat-saat itu ketua kelas dan tiga teman lain sering ke rumah Robin untuk latihan dance dan rumah Robin hanya kira-kira 200 meter dari SMA 1.
Beberapa minggu kemudian saat masa-masa akhir kelas tujuhku murid-murid kelas tujuh dan delapan yang beragama non-islam mengikuti tes kompetensi agama di ruang perpustakaan. Sambil menunggu giliran, aku dan beberapa temanku, termasuk Robin mengisi waktu luang dengan bercanda. Tetapi semakin lama Robin mem-bully aku. Aku hanya tertawa dan menganggap itu merupakan candaan. Namun lama-lama dia berbicara pada temanku laki-laki yang kukenal sejak TK, Gary dan di depanku dia berkata frontal begini, “Litta gak oleh ngalah. Tapi Litta kudu kalah”
Aku diam. Kata-kata itu sungguh menusukku. Aku menatapnya sejenak. Aku bisa melihat bahwa dia tersenyum setelah mengucapkannya. Aku tahu betul makna di balik kata-kata itu. Tetapi bukan berarti dia bisa berbicara seenaknya padaku.
Aku tahu bahwa dia sudah menjadi sainganku dan Ema dalam setahun itu, saat menjadi murid kelas tujuh. Aku dan Ema sangat susah payah berusaha untuk mengalahkannya. Dan saat itu aku dan Ema belum tahu apakah kami masih sudah mampu mengalahkannya atau belum. Jujur saja, kadang aku merasa iri saat dia menjadi murid kesayangan salah satu guru dan mendapat pujian dari guru yang lain. Juga saat dia mendapat nilai yang tinggi dari nilai yang kudapatkan.
Saat aku mendapat nilai yang lebih tinggi, aku tahu Robin juga kesal padaku. Tidak, lebih tepatnya iri. Bahkan dia sendiri yang mengungkapkan padaku bahwa nilainya mungkin tak akan serendah itu atau nilaiku tak akan lebih tinggi, atau komentar-komentar lain. Selesai dia berkata begitu, aku biasanya tak mengeluarkan komentar apa pun. Aku hanya tersenyum. Ya, tersenyum sambil memikirkan apa yang selanjutnya akan ia lakukan padaku?
Aku menceritakan hal-hal yang terjadi di perpustakaan itu pada Ema, juga kata-kata yang keluar dari mulut Robin. Ema juga mengungkapkan bahwa ucapan itu benar-benar menusuk hati dan rupanya dikatakan dengan jujur dan mendalam. Ema takut. Aku pun takut, bahkan gelisah. Aku tak boleh membiarkannya menduduki posisi ranking satu di kelas itu yang awalnya adalah milikku. Ema juga tak mau kalah dari cowok itu.
Hari pembagian rapor kenaikan kelas pun tiba. Karena wali kelasku sudah meninggal dunia beberapa hari sebelum pembagian rapor, maka pembagian rapor kelasku dilakukan oleh guru yang lain. Rapor dari masing-masing siswa dibagikan kepada orang tua masing-masing, dan raporku diambil oleh ibuku. Jantungku berdetak sangat kencang. Aku lebih banyak diam. Aku gelisah. Apakah Robin sudah mendapatkan keinginannya? Aku hanya menunggu ibuku keluar kelas dan menunjukkan hasil raporku.
Beberapa lama kemudian, ibuku muncul keluar kelas. Aku melihat jumlah nilai raporku. Sungguh mengecewakan. Turun tiga angka dari jumlah nilai rapor semester satu. Aku diam. Rasanya ingin menyesali diri. Bagaimana bisa aku begini? Lalu berapa jumlah nilai Robin?
Teman-temanku mengajak untuk melihat daftar ranking yang dipegang guruku. Aku sungguh terkejut. Ema tidak bisa masuk tiga besar ranking kelas kami. Aku tahu dia sangat kecewa. Tetapi aku juga tidak bisa berkata apa pun.
Aku tercengang saat mendengar namaku disebut guruku bahwa aku mendapat ranking satu. Ranking satu? Aku melihatnya di daftar ranking yang dipegang guruku itu. Ranking satu. Ya, aku berhasil mempertahankan posisiku. Aku sedikit puas dengan apa yang kudapatkan.
Robin ternyata menempati ranking dua. Aku tidak bisa sombong begitu saja padanya. Aku juga harus tahu diri. Karena dia pernah memberiku kata-kata motivasi, belum bisa disebut motivasi sebenarnya, aku mengucapkan terima kasih untukknya. Tetapi yang kusesali adalah aku melupakan kata-kata itu. Aku masih mencari dan mencoba mengingat-ingat hingga sekarang.
Dan ibuku bercerita bahwa ibunya Robin bertanya pada ibuku, “Bu, berapa jumlah nilai rapornya Vincentia?” Lalu aku tertawa mengetahui bahwa ibu Robin mengajukan pertanyaan seperti itu. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar