PART #2
Setiap
tahun di sekolah kami ada lomba mading antarkelas. Setiap kelas memiliki tema-tema
yang telah ditentukan dan periode untuk memasang madingnya. Dan tahun itu
temanya adalah tentang Negara-negara di dunia. Kebetulan kelasku mendapat tema
Perancis dan mendapat periode kedua.
Kelas
Fisa mendapat periode pertama. Jadi kelasnya membuat, menyelesaikan, dan
memasang mading lebih awal dari kelasku. Dua hari sebelum kelasnya memasang
mading, teman-teman sekelasnya menyelesaikan mading hingga sore hari. Fisa
menghubungi Robin untuk datang dan membantu teman-temannya. Tentu saja Robin
mau melakukannya. Dan sehabis pulang dari sana, Robin berangkat les dan bertemu
aku. Kelas tujuh aku memang satu LBB dengannya. Robin menceritakan padaku
tentang ia tadi datang ke sekolah dan membantu teman-teman Fisa. Lalu
teman-teman Fisa menjodoh-jodohkannya dengan Fisa dan sebagainya. Aku hanya
heran. Kenapa ia mau dimanfaatkan oleh cewek seperti itu? Tetapi aku tak mau
berkata apa pun. Aku hanya diam dan menyimpan pertanyaan itu di dalam hati.
Hari
minggu digunakan kelas kami untuk mengerjakan mading di sekolah. Hampir
semuanya terlihat sangat sibuk hingga kami pulang lebih dari tengah hari.
Sebagian teman sudah pulang, tetapi beberapa masih tinggal di kelas, salah
satunya aku, Robin dan temanku yang bernama Barbara. Karena Barbara mengendarai
motor dan di luar sedang hujan ia pamit untuk pulang terlebih dahulu.
Kini
hanya tinggal aku dan Robin. Aku merasa biasa saja dengannya, dia juga sudah
biasa denganku. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia duduk di karpet
depan (beberapa kelas dari sekolah kami berkarpet) sambil sibuk internetan
dengan wifi sekolah melalui laptopnya. Aku duduk di bangku paling depan untuk
internetan juga melalui ponsel. Aku membuka akun facebook-ku, lalu menulis
status “Ketemu minisize lagi. Di kantin, koperasi, di perpus, di depan sekolah.
Bosan ah.” Aku tak tahu apa yang ada di pikiranku saat itu. Tetapi saat melihat
Robin, aku selalu teringat pada Fisa.
Beberapa
kali Robin telah bekerja banyak untuk kelas Fisa, sementara untuk kelasnya
sendiri ia juga bisa dibilang banyak bekerja. Tetapi yang tidak kusuka dari
Robin adalah dia mengerjakan mading kelas kami sambil sms-an dengan Fisa. Dasar
anak tak tahu waktu! Aku tahu dia tak ingin bila Fisa marah padanya kalau-kalau
Robin tak membalas sms-nya. Mungkin karena hal itu pernah terjadi, ia tak mau
mengulanginya lagi.
Malah,
jam empat pagi saja mereka sudah sms-an sejak di Kampung Inggris, Pare. Hal itu
membuat temanku yang sekamar dengan Fisa terganggu. Dia mengakui bahwa jam
empat pagi semua anak di kamar itu masih tidur, dan kebetulan kasurnya
bersebelahan dengan kasur Fisa. Fisa meletakkan handphone-nya di kasur. Nah, pagi-pagi sekali. Itulah saat handphone Fisa bergetar sangat keras
sampai mengganggu temanku itu. Sangat-sangat tidak penting.
Aku
tahu hal segala hal tentang Fisa karena diberi tahu teman-temanku. Sudah kuberi
tahu sebelumnya bahwa sebagian besar anak cewek di kelasku juga tak menyukai
Fisa. Maka hampir setiap kali kami berkumpul, kami selalu membicarakan Fisa.
Bisa dibilang menggosip sih, tetapi…
ah sudahlah!
Pertengahan
bulan Maret pun tiba. Itulah hari ulang tahun Fisa. Robin pun mengucapkan
selamat ulang tahun kepada Fisa, melalui SMS tentunya dan status facebook. Tetapi hanya beberapa orang
yang mengerti makna dari status facebook
itu, termasuk aku. Ia menulis status itu dua atau tiga hari setelah ulang tahun
Fisa dan di status itu ia tidak menandai Fisa. Aku lupa tepatnya, tetapi aku
ingat statusnya bertuliskan “Congrats ya dik”. Aku memang tahu bahwa status itu
ditujukan untuk Fisa. Aku juga baru menyadari bahwa mereka adalah “kakak-adik”
dalam sapaan di SMS. Sungguh aneh kelakuan para remaja jaman sekarang.
Beberapa
hari setelah hari ulang tahun Fisa, kelas tujuh dan delapan di sekolahku libur karena
kakak-kakak kelas Sembilan di sekolahku sedang melaksanakan ujian sekolah
tulis, termasuk kakak Fisa. Yah, bukan “libur” namanya jika guru-guru yang
mengatakannya. Tetapi mereka menatakan “belajar di rumah” untuk lebih
menghaluskan dan menyuruh siswa-siswinya untuk tetap belajar di waktu luang.
Tetapi hasilnya, hanya sedikit yang belajar pada waktu senggang seperti itu.
Oh
ya, aku belum menyinggung tentang kakak Fisa. Kakaknya cantik (menurutku lebih
cantik dari adiknya), putih (memang waktu itu kakaknya terlihat jauh lebih
putih dari Fisa), dan juga seorang atlet. Mereka memiliki banyak kesamaan
tentunya. Lagi-lagi teman-temanku membicarakan Fisa. Tetapi kali ini kakaknya
juga disangkut-pautkan. Kata mereka, kak-adik itu sama, sama-sama kemayu kalau istilahnya orang Jawa.
Sehingga kak-adik itu sering dibilang endhel.
Hei, yang bilang begitu bukan hanya teman-temanku, tetapi juga teman-teman
kakak Fisa.
Karena
itu lagi-lagi aku menulis status di facebook,
“Kakak adik sama saja, sama-sama cantik, tapi sama-sama kemayu.” Aku ingat
betul aku menulis status itu saat malam Paskah. Meski begitu, aku tak tahu
apakah mereka atau Fisa membaca statusku itu. Aku berharap ia tidak tahu dan
tidak membacanya. Atau dia membacanya tetapi tak tahu bahwa ia dan kakaknya
yang kumaksud di situ.
Kembali
ke liburan tadi. Teman-teman sekelasku mengadakan acara hiburan sejenis bermain
atau bahasa Jawanya dolan.
Teman-temanku memilih untuk berkeliling dengan becak cinta. Itu lho, kendaraan
yang dikayuh oleh empat orang dengan lampu warna-warni pada badan kendaraannya.
Awalnya naik becak cinta dilakukan siang hari yang dihadiri hanya 7 anak,
termasuk aku dan Robin. Menurut penglihatanku saat itu, temanku yang bernama
Josi selalu seperti mencari-cari perhatian Robin. Sungguh, aku tak suka
melihatnya. Aku jijik dengan cewek yang termasuk criteria 2C dan 2G (Centil,
Caper, Genit, Gatel) seperti itu. Kurasa Josi telah menyukai Robin. Meski
begitu Josi adalah orang yang cantik, punya banyak bakat dalam bidang seni,
lebih pintar dari Fisa, dan lebih tinggi dari Fisa (tetapi aku yang lebih
tinggi). Tetapi Robin tidak merespon semua perkataan Josi. Ia hanya terlihat
biasa saja.
Tiga
hari kemudian, teman-teman mengadakan lagi acara naik becak cinta. Hanya kali
ini, acaranya diselenggarakan malam hari. Aku tidak ikut karena pastinya aku
tidak diizinkan ibuku, padahal aku sungguh ingin. Josi pun begitu. Tetapi Robin
dan 7 anak lainnya sangat antusias untuk mengikutinya.
Esoknya
aku pergi ke rumah temanku yang bernama Ema untuk mengerjakan tugas biologi
bersama. Di sela-sela mengerjakan bersama, dia bercerita tentang Robin dan
Fisa. Kuakui aku antusias mendengar dia bercerita tentang mereka berdua.
Katanya informasi ini ia dapatkan dari Barbara yang juga dekat dengan Robin.
Lagipula Barbara juga dekat dengan Ema dan Ema juga dekat denganku. Jadi aku
bisa dengan cepat mengetahui segala sesuatu tentang Robin.
Ema
bercerita bahwa saat akan naik becak cinta di malam hari, Robin menyempatkan
untuk curhat pada Barbara. Robin mengatakan bahwa Fisa meminta pulsa sebesar
lima ribu rupiah saja pada Robin. Tetapi Robin menolak sehingga Fisa menjadi
kesal padanya dan menulis status facebook,
“Tambah suwi tambah megelne puoll cah kuwi.”
Aku
sungguh tidak menyangka dengan kelakuan Fisa yang seperti itu. Sebetulnya aku
juga tak tahu alasan Fisa meminta pulsa dan alasan Robin menolak. Aku
mengasumsikan bahwa Fisa seperti meminta hadiah ulang tahunnya. Malah Ema
mengasumsikan bahwa Fisa itu cewek matre. Memang terdengar kasar, tetapi
mungkin itu bisa jadi salah satu buktinya.
Kejadian
itulah yang menyebabkan hubungan antara Fisa dan Robin memiliki banyak
kerenggangan. Bahkan bisa dikatakan berakhir. Rumor tentang hubungan Robin dan
Fisa mereda meskipun teman-teman perempuan sekelasku masih tidak menyukai Fisa.
Dan rupanya Fisa masih memusuhi temanku yang bernama Anera sejak Fisa dekat
dengan Robin. Aku menjadi merasa kasihan pada Anera. Ia mengaku padaku bahwa ia
bukan tidak menyukai Fisa dan tidak ingin memusuhi atau dimusuhi siapapun,
termasuk Fisa.
Fisa
memang orang yang aneh. Hanya karena silsilah keluarga kelasku yang sepele ia
memusuhi Anera. Memang, kelas kami mempunyai silsilah keluarga yang terdiri
dari generasi pertama sampai generasi terakhir. Anera dipasangkan teman-teman
dengan Robin yang menjadi generasi kedua. Hal itu membuat anak-anak kelas kami
memanggil Anera dengan sebutan “Mama” dan Robin dengan sebutan “Papa”.
Terdengar lucu memang, tetapi si aneh Fisa itu justru salah menafsirkannya.
Waktu
pun terus berjalan. Hingga Robin dikabarkan berpacaran dengan ketua kelasku
yang merupakan temanku dari TK. Sejujurnya, aku sangat terkejut meskipun aku
tidak tahu pasti kebenarannya. Rumor mengatakan bahwa Robin “menembak”-nya di
depan SMA 1. Kebetulan saat-saat itu ketua kelas dan tiga teman lain sering ke
rumah Robin untuk latihan dance dan
rumah Robin hanya kira-kira 200 meter dari SMA 1.
Beberapa
minggu kemudian saat masa-masa akhir kelas tujuhku murid-murid kelas tujuh dan
delapan yang beragama non-islam mengikuti tes kompetensi agama di ruang
perpustakaan. Sambil menunggu giliran, aku dan beberapa temanku, termasuk Robin
mengisi waktu luang dengan bercanda. Tetapi semakin lama Robin mem-bully aku. Aku hanya tertawa dan
menganggap itu merupakan candaan. Namun lama-lama dia berbicara pada temanku
laki-laki yang kukenal sejak TK, Gary dan di depanku dia berkata frontal
begini, “Litta gak oleh ngalah. Tapi Litta kudu kalah”
Aku
diam. Kata-kata itu sungguh menusukku. Aku menatapnya sejenak. Aku bisa melihat
bahwa dia tersenyum setelah mengucapkannya. Aku tahu betul makna di balik
kata-kata itu. Tetapi bukan berarti dia bisa berbicara seenaknya padaku.
Aku
tahu bahwa dia sudah menjadi sainganku dan Ema dalam setahun itu, saat menjadi
murid kelas tujuh. Aku dan Ema sangat susah payah berusaha untuk
mengalahkannya. Dan saat itu aku dan Ema belum tahu apakah kami masih sudah
mampu mengalahkannya atau belum. Jujur saja, kadang aku merasa iri saat dia
menjadi murid kesayangan salah satu guru dan mendapat pujian dari guru yang
lain. Juga saat dia mendapat nilai yang tinggi dari nilai yang kudapatkan.
Saat
aku mendapat nilai yang lebih tinggi, aku tahu Robin juga kesal padaku. Tidak,
lebih tepatnya iri. Bahkan dia sendiri yang mengungkapkan padaku bahwa nilainya
mungkin tak akan serendah itu atau nilaiku tak akan lebih tinggi, atau
komentar-komentar lain. Selesai dia berkata begitu, aku biasanya tak
mengeluarkan komentar apa pun. Aku hanya tersenyum. Ya, tersenyum sambil
memikirkan apa yang selanjutnya akan ia lakukan padaku?
Aku
menceritakan hal-hal yang terjadi di perpustakaan itu pada Ema, juga kata-kata
yang keluar dari mulut Robin. Ema juga mengungkapkan bahwa ucapan itu
benar-benar menusuk hati dan rupanya dikatakan dengan jujur dan mendalam. Ema
takut. Aku pun takut, bahkan gelisah. Aku tak boleh membiarkannya menduduki
posisi ranking satu di kelas itu yang awalnya adalah milikku. Ema juga tak mau
kalah dari cowok itu.
Hari
pembagian rapor kenaikan kelas pun tiba. Karena wali kelasku sudah meninggal
dunia beberapa hari sebelum pembagian rapor, maka pembagian rapor kelasku
dilakukan oleh guru yang lain. Rapor dari masing-masing siswa dibagikan kepada
orang tua masing-masing, dan raporku diambil oleh ibuku. Jantungku berdetak
sangat kencang. Aku lebih banyak diam. Aku gelisah. Apakah Robin sudah
mendapatkan keinginannya? Aku hanya menunggu ibuku keluar kelas dan menunjukkan
hasil raporku.
Beberapa
lama kemudian, ibuku muncul keluar kelas. Aku melihat jumlah nilai raporku.
Sungguh mengecewakan. Turun tiga angka dari jumlah nilai rapor semester satu.
Aku diam. Rasanya ingin menyesali diri. Bagaimana bisa aku begini? Lalu berapa
jumlah nilai Robin?
Teman-temanku
mengajak untuk melihat daftar ranking yang dipegang guruku. Aku sungguh
terkejut. Ema tidak bisa masuk tiga besar ranking kelas kami. Aku tahu dia
sangat kecewa. Tetapi aku juga tidak bisa berkata apa pun.
Aku
tercengang saat mendengar namaku disebut guruku bahwa aku mendapat ranking
satu. Ranking satu? Aku melihatnya di daftar ranking yang dipegang guruku itu.
Ranking satu. Ya, aku berhasil mempertahankan posisiku. Aku sedikit puas dengan
apa yang kudapatkan.
Robin
ternyata menempati ranking dua. Aku tidak bisa sombong begitu saja padanya. Aku
juga harus tahu diri. Karena dia pernah memberiku kata-kata motivasi, belum
bisa disebut motivasi sebenarnya, aku mengucapkan terima kasih untukknya.
Tetapi yang kusesali adalah aku melupakan kata-kata itu. Aku masih mencari dan
mencoba mengingat-ingat hingga sekarang.
Dan
ibuku bercerita bahwa ibunya Robin bertanya pada ibuku, “Bu, berapa jumlah
nilai rapornya Vincentia?” Lalu aku tertawa mengetahui bahwa ibu Robin mengajukan
pertanyaan seperti itu. []